Remaja adalah masa transisi perkembangan fisik dan mental yang terjadi antara masa anak-anak dan masa dewasa.
Satu
sisi, mereka punya dorongan untuk menunjukkan siapa dirinya, tetapi di
sisi lain, mereka belum memiliki kemampuan untuk membuktikan siapa
dirinya.
Mereka ingin dipandang, tetapi orangtua belum memiliki alasan
untuk memandangnya. Mereka ingin dibebaskan, tetapi orangtua masih
meragukan konsistensinya.
Inilah yang kerap memicu bentrokan dalam
keluarga.
Bentrokan ini yang memicu stress yang dialami remaja. Jikalau
persoalan ini berlarut-larut dan tidak ada jalan keluar yang tepat,
tidak tertutup kemungkinan remaja itu bisa mengalami depresi.
Masalah lainnya adalah urusan LOVE (puberty).
Mau kita menyebutnya cinta
monyet atau cinta apa, mereka berhadapan dengan persoalan ini. Apesnya,
tidak semua remaja dibekali persiapan menghadapinya.
Banyak kaum ibu
yang dibikin pusing tujuh keliling karena memikirkan anaknya yang jatuh
cinta, sms tengah malam, mbolos sekolah, atau membengkakkan tagihan
telepon rumah.
Lebih-lebih jika si anak jatuh cintanya pada teman yang
menurut orang tua “kurang pas” bibit-bebet-bobot nya.
Akan lebih ruwet
lagi jika mereka sudah menjalin hubungan yang sangat jauh dari perkiraan
kita. Ruwetnya urusan cinta juga termasuk sumber masalah.
Secara
Psikologi, munculnya semarak bercinta pada remaja itu bisa ganda. Ada
yang positif dan ada yang negatif.
Yang positif misalnya: mereka bisa
merasakan sensasinya cinta, cinta menyemangati pertumbuhannya,
memunculkan kemerdekaan dalam hidupnya, menghadirkan dukungan, dorongan,
dan perlakuan yang menyenangkan, dan yang lebih penting lagi, cinta
membuat mereka merasa menjadi orang penting dan spesial.
Sedangkan yang
negatif antara lain: cinta memunculkan cemburu, dendam, posesivitas,
dorongan ingin mengendalikan kebebasan pasangan, depresi, dan mengundang
potensi bunuh diri karena ketakutan atau kekhawatiran akan kehilangan
orang tersayang
Cara Mengatasi Stres pada Remaja untuk memperkuat kemampuan mereka dalam menghadapi realitas, langkah yang bisa kita lakukan antara lain:
*
Libatkan mereka dalam tanggungjawab atau peranan tertentu yang membuat
mereka merasa berharga dan dihargai orangtua. Mulailah melibatkan mereka
ke dalam beberapa keputusan keluarga
* Berilah kesempatan untuk
belajar dari pengalaman hidupnya, namun tetap terkontrol dan
proporsional tidak terlalu dilepas dan juga tidak terlalu didikte
*
Terus tanamkan nilai dengan cara yang kreatif. Bisa nilai agama atau
kearifan lain. Namun cara paling efektif untuk menanamkan nilai, justru
dari memberi contoh kongkrit melalui kehidupan yang kita jalankan
sehari-hari.
Bagaimana cara kita menghadapi masalah dan apa makna
masalah buat kita, apa makna kegagalan dan bagaimana menyikapinya, itu
semua akan jadi ajaran nilai kalau anak melihat langsung dari orang
tuanya. Nilai yang kita tanamkan itu sama seperti benih yang kita sebar.
Suatu saat, pasti akan tumbuh. Bedanya, ada yang cepat dan ada yang
lambat.
Jangan sampai kita cepat give up dalam menanamkan nilai karena
merasa tidak didengar atau sering ditolak
* Tantanglah dengan
berbagai rangsangan positif untuk memperbaiki logika, kreativitas dan
kepercayaan-dirinya. Misalnya memberi bahan bacaan, mendiskusikan isu,
mengembangkan bakat, dan lain-lain. Bahkan, dengan cara melibatkan
mereka dalam keputusan keluarga, hal itu juga membantu logika dan
kreativitas mereka.
* Jangan lupa menempuh cara-cara yang
non-empiris, misalnya mendoakan mereka, menjauhkan mereka dari dana yang
tidak halal, memperbanyak sedekah (menolong orang lain) atau menjalin
silaturahmi dengan keluarga.
No comments:
Post a Comment