Di dunia ini tak ada seorang wanitapun yang bercita-cita hidup menjadi janda, mengapa demikian ?
karena Status janda mengundang cibiran. Namun, para janda dalam sejarah Islam justru adalah wanita-wanita terhormat dan menjadi teladan dengan kemandiriannya
karena Status janda mengundang cibiran. Namun, para janda dalam sejarah Islam justru adalah wanita-wanita terhormat dan menjadi teladan dengan kemandiriannya
Jadi janda? Status yang satu ini mungkin bagi sebagian besar perempuan terdengar sangat mengerikan.
Betapa tidak, di masyarakat timur yang sebagian besar masih menganggap bahwa perkawinan yang sempurna adalah bersatunya sepasang suami istri.
Betapa tidak, di masyarakat timur yang sebagian besar masih menganggap bahwa perkawinan yang sempurna adalah bersatunya sepasang suami istri.
Status janda adalah kondisi yang sebisa mungkin dihindari, namun sebagai manusia perjalanan hidup tetap harus dijalani meski ditinggal suami karena meninggal dunia atau bercerai yang bisa terjadi pada siapa saja.
Menyandang status janda bagi perempuan di negeri ini berarti menanggung beban cibiran, anggapan miring, dan kesendirian memikul beban materi maupun psikis.
Mayoritas, pengakuan mereka yang hidup menjanda adalah sulitnya mendapatkan tempat yang layak dalam masyarakat.
Padahal, status sebagai janda tak berbeda dengan status gadis, perjaka, istri, suami, atau duda sekalipun.
Walaupun status menjanda tersebut disandang akibat wafatnya sang suami, perlakuan masyarakat terhadap janda tetap tak senormal terhadap orang dengan status lainnya.
Apalagi bila status menjanda didapatkan karena perceraian, tudingan dan cibiran akan lebih deras menghujam dibandingkan pada pria yang menduda.
Terlebih bila sang janda masih muda, cantik, cerdas, dan pandai bergaul.
Sejatinya, janda juga seorang manusia yang tak bisa membuat takdir atas diri mereka sendiri.
Bila memang biduk rumah tangga tak bisa lagi dikayuh karena hal sangat prinsipil, haruskah tetap bertahan dalam status istri yang tersiksa?
Bukankah jalan perceraian masih halal, meski Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) memang membencinya.
Di lain kasus, dapatkah seseorang menahan laju malaikat maut yang menjemput ruh pasangan hidup? Sungguh manusia tak pernah berkuasa untuk menentukan takdirnya sendiri. Lantas, apakah kehidupan mesti berwarna suram sepanjang sisa hidup seorang manusia berstatus janda?
Ini tentu tak adil. Karena, dalam Islam, perempuan-perempuan dengan status janda pun mendapatkan perlakuan yang terhormat.
Bila seorang perempuan menjanda akibat suami yang syahid di medan perang, apakah layak janda syuhada ini menjadi sasaran tudingan dan cibiran?
Karena itu, bila status menjanda adalah sebuah takdir yang memang harus dijalani, jemputlah dengan segenap kekuatan jiwa dan raga serta tetaplah bersyukur.
Jangan sampai bola salju yang bernama “janda” itu justru lebih dahulu menghantam, hingga kita lumat di dalamnya dan membuat anggapan miring masyarakat semakin mendapat pembenaran.
Mungkin, untuk yang kesekian kali, kita harus meneladani pribadi Ibunda Khadijah RA.
Semasa jahiliyah, dimana perempuan Arab adalah jenis manusia yang direndahkan, beliau mampu berdiri dengan agung.
Menjadi wanita terhormat yang dikagumi, meski beliau menyandang status janda.
Tak ada anggapan miring yang hinggap pada sosoknya, karena ia adalah perempuan yang sangat rapat menjaga diri.
Ia pun tak menjadi orang yang mengemis belas kasihan pada orang lain, karena ia mampu berdiri tegak di atas kedua kakinya.
Ketika ia memutuskan untuk kembali menikah pun, ia berhasil menjalani kehidupan yang lebih baik bersama Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (SAW), ketimbang dengan dua suami terdahulunya.
Perjalanan untuk menjadi sosok yang demikian juga bukan masa yang ringan.
Butuh kesabaran dan tekad yang kuat untuk tetap berorientasi pada “hari esok yang lebih baik”.
Sebab, masyarakat kita terbiasa menyaksikan seorang janda yang tenggelam dalam kesedihan pasca kematian suaminya atau pasca bercerai, ketimbang yang langsung bergerak mengusahakan yang terbaik, berjuang, bangkit dengan lebih kuat dan tegar untuk kembali mejalani hidup yang lebih baik untuk kehidupan dirinya dan anak-anaknya.
Tetaplah istikamah dalam kebaikan yang senantiasa kita hadirkan dalam setiap langkah.
Namun demikian, bukan berarti seorang janda sebaiknya memilih untuk tetap sendiri setelah suaminya berpulang atau bercerai. Karena, menikah lagipun pilihan yang baik untuk seorang janda.
Namun sebelumnya, seorang janda sebaiknya lebih berhati-hati dalam memilih calon suami yang akan mendampinginya. Harus benar-benar selektif dalam memilih pasangan hidupnya..
Adapun tujuan bila menikah kembali sama sekali bukan karena alasan sepele, melainkan karena alasan-alasan besar untuk mewujudkan cita-cita yang besar pula.
No comments:
Post a Comment